Sunday, April 17, 2011

A Mother Should

Suatu hari, seorang tokoh masyarakat sedang berkeliling memantau lingkungannya. Kemudian, ia mampir ke rumah seorang petani. Ia terkesan oleh kepandaian dan sikap yang amat ramah dari seorang anak kecil, anak laki-laki satu-satunya dalam rumah itu, yang berusia empat tahun.

Kemudian, tokoh masyarakat itu menemukan satu hal yang membuatnya kagum. Ibunya berada di dapur, sedang mencuci bagian-bagian lemari es yang paling sulit ketika anak itu datang kepadanya dengan membawa sebuah majalah. "Mami, apa yang sedang dilakukan orang dalam foto ini?" tanyanya.

Sang ibu segera mengeringkan tangannya, duduk sambil memangku anaknya, dan menghabiskan waktu selama 10 menit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan putranya dengan lembut. Setelah anak itu puas dengan penjelasan ibunya, ia segera turun dan berlari ke halaman rumah untuk bermain.

Segera saja, tokoh masyarakat tersebut mengomentari tindakan dan sikap sang ibu yang istimewa itu, dalam menghadapi putranya. "Wah, setahu saya, kebanyakan kaum ibu tidak mau diganggu kalau sedang sibuk bekerja seperti itu. Kadang mereka menyuruh si anak bertanya kepada ayahnya, atau pembantunya.."

"Saya masih dapat membersihkan lemari es itu selama sisa hidup saya, Pak" kata ibu itu kepada sang tokoh masyarakat, "tetapi, peristiwa di mana putra saya menanyakan pertanyaan itu kepada saya mungkin tidak akan pernah terulang lagi, apalagi jika menyuruhnya bertanya kepada orang lain."

Saturday, April 9, 2011

DIA

ga ada yg spoecial di idup gw,
setelah kejadian antara sahabat dan mantan istri gw,
selain kelahiran kazo,
selain kata pertama kazo,
selain langkah pertama kazo,
selain pelukan pertama kazo,
selain ciuman pertama kazo,

tapi DIA,
DIA yg telah ada kini diantara puing kehancuran perasaanku,
saat tercabik,
saat kecewa,
saat menangis,

DIA kini kembali,
DIA kini ada,
DIA kini mulai mewarnai,

DIA DIA DIA,,,

:)

Sunday, February 6, 2011

welcome back



hi guys,
lama bgt ga gw buka ni blog,
kangen juga pengen posting,
tapi ya gimana ya,
gw bukan tipe seorang penulis <<<<----- pengakuan berat

baiklah sekarang gw mo tulis,
gw punya sedikit pengalaman pribadi yang ga mestinya gw cerita
tapi berkat seseorang yg nulis "Love is like a sand in the hand. The more you keep it, the more you lose it.." di blognya gw jadi pengen mengiyakan dengan alasan gw sendiri,

oke,
kenapa gw mengiyakan kata kata diatas?
karena gw ngalamin sendiri guys,
gw divorce setelah 3 taun married,
pasalnya gw terlalu possesif (the more you keep it)
and than i lose it,

so stupid i am,,,

but gw ga sedih karena gw pernah baca artikel
so the point is here,
artikel yg dikasi sama kk gw (bisa dibilang kk biarpun sebenernya aa)
dia tag artikel ini di fb gw

Gelisah ada di dalam diri orang orang yang sibuk membiarkan dirinya bingung. Tanpa sadar asyik bergulat dengan penderitaan yang diciptakannya sendiri. Mereka menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya untuk mengejar sesuatu. Aku juga bagian dari mereka kemarin, tapi maaf, tidak untuk hari ini dan seterusnya.



Kemarin baru saja pencerahan menghantam isi kepalaku. Saraf saraf di otakku seperti berbicara dengan bagian hatiku yang paling dalam. Pencerahan bilang kepadaku : “Diam sejenak, dengarkan aku bicara!” Lalu aku diam dan mengambil nafas dalam untuk bersiap memahami. Dia lalu bilang lagi : “ Sepanjang hidupmu mulai dari kau mulai bernafas dan memahami bahwa matahari selalu terbit di timur dan tenggelam di barat. Saat celana merah dan baju putih sekolah dasar kau kenakan, saat kau tertawa lebar dengan seragam SMP mu dan pelan pelan kau mulai berharap cinta di sudut sudut kelas SMA mu. Kau tahu apa yang mereka ajarkan kepadamu?”



“Mereka? Siapa mereka?”, tanyaku.



“Mereka. Orang tuamu, orang orang dewasa disekitarmu. Guru, tetangga tetanggamu, kyai, ulama dan orang orang yang kau anggap lebih memahami hidup daripada dirimu. Apa yang mereka ajarkan?”



“Banyak. Aku tidak bisa mengingat semuanya.”



“Tidak. Mereka hanya mengajarkan satu hal. Ketika kau mulai liar dengan dunia kuliahmu. Ketika kau butuh idola yang lebih bisa kau anut, yang bisa meredam semua gejolak pemberontakanmu. Apa yang mereka ajarkan?”



“Banyak. Aku benar benar tidak bisa mengingat semuanya.”



“Tidak. Mereka hanya mengajarkan satu hal. Sama seperti yang diajarkan orang orang yang dipandang hebat yang muncul di tivi. Sama seperti wajah wajah bijaksana yang bicara tentang motivasi dan kehidupan. Mereka cuma mengajarkan satu hal. Tentang “meraih sesuatu”.“Meraih sesuatu? So? Apa yang salah dengan meraih sesuatu?”



“Tidak ada yang salah… selama kau tahu apa hakikatnya. Mereka terlalu sibuk mengajarkan tentang “bagaimana” daripada “mengapa”. Karena hal yang lebih penting dalam hidup tidak hanya “meraih”.”



“Jadi apa?”



“Melepaskan juga sama pentingnya.”



“Maksudmu?”



“Melepaskan bahkan lebih penting.”



“Hah?! Hold on a second… calm down. You getting me confuse… Itu tidak diajarkan dalam kehidupanku.. All I know… kita meraih untuk memiliki yang belum kita punya.”



“memiliki?!! Itulah penyakit semua orang. Itulah kenapa semua penduduk di planet ini resah dan menderita atas pikirannya sendiri!! Karena mereka berpikir bahwa mereka bekerja keras untuk memiliki sesuatu. Mengedepankan ambisi. Menempatkan kebahagiaan atas sesuatu yang mereka telah miliki. Mengejar “apa” dan “siapa”. Menerjemahkan bahwa yang kita miliki akan membuat kita bahagia. Yang tidak kita miliki membuat kita punya alasan wajar untuk bersedih dan frustasi. Menerjemahkan bahwa yang seseorang miliki menentukan kualitas berhasil dan gagal. Menerjemahkan yang kita miliki menentukan kita perlu bangga atau tidak pada kehidupan.”



Aku sejenak terdiam. Sesuatu yang kedengaran absurd ini pelan pelan menerobos ruang logikaku. Seolah tangan tangan dari pemikiran ini menjambak saraf keyakinanku, mengacak acak menjadi jauh dari bentuk semula.



“Hampir 30 tahun kau bernafas, dan kau hanya tahu tentang “meraih” dan “memiliki”.”



“Iya. Lantas, apa yang keliru?”



“Tidak keliru. Hanya tidak lengkap.”



“Lantas, apa pengaruhnya bila semua hal tidak lengkap?”



“Hidupmu hanya akan berakhir seperti orang lain yang salah menerjemahkan kebahagiaan.”



“Bohong!”



“Kenapa bohong? Apa sekolahmu pernah mengajarkan tentang melepaskan sesuatu? Apa orang tuamu pernah mengajarkan hal yang sama? Apa yang kau dengar dari tutur kata ustad ustadmu yang kerap mengajarkan doa sebagai mata uang dagang kita dengan Tuhan, zakat sebagai upaya berpamrih dengan Alloh, yang mengenalkan pemahaman surga, neraka, pahala dan dosa sebagai subtansi yang cuma menuntunmu untuk bersilaturahmi dengan Tuhan layaknya hubungan antara kasir dan pelanggan. Sementara motivator motivator yang diklaim hebat dengan retorika dan runtutan teori dan filosofi tentang psikologi dan NLP dan beribu ribu buntut dibelakangnya. Mereka cuma mengajarkanmu satu hal”



“So what’s the fuckin point!!”



“Kau tahu apa yang membuat hidupmu berat? Hidup orang lain berat? Hidup semua orang jadi berat?”



Aku terdiam sejenak. “I’m listening.. Go on!”



“Karena mereka membawa terlalu banyak beban yang tidak perlu mereka bawa dalam hidup. Mereka tidak belajar “mengapa” mereka hidup dan “Kemana” mereka menuju. Kehidupan sejati adalah hidup sesudah mati. Aku tidak tahu kehidupan sesudah mati terlalu banyak, dan kuharap kau juga jangan merasa terlalu tahu, sebab daftar orang sok tahu di dunia ini terlalu banyak, jadi jangan kau tambah lagi. Begini temanku yang sesat, apa yang kau bawa ketika lahir?”



“Tidak ada.”



“Dan ketika kau mati? Apa yang kau bawa?”



Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir dan akhirnya kujawab, “kurasa aku juga tidak membawa apa apa, but wait a second… we have understanding not to assume that we know many things about life after death, remember? Tapi… okelah.. aku pikir… tidak ada satu inci barang pun yang kubawa ketika mati.”



“Untuk siapa kau hidup?”



Lagi lagi aku diam. Kepalaku bergerak kekiri dan kekanan mencari jawaban.



“Itulah masalahnya. Kau bahkan tidak mengerti hal hal sederhana yang kau sebut sendiri dalam sholatmu. Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati… Hidupku, sholatku, matiku hanya untuk Alloh. Tapi kau kerap lupakan janjimu yang kau ucap sendiri 5 kali sehari. Jadi apa yang kau sebut sebagai “Bahagia”?”



“Tidak tahu”



“Jangan bohong! Kau baru saja ingin menyebut uang, status sosial, istri cantik dan keluarga yang bermartabat. Ayo mengaku saja. Itu khan yang ingin kau sebut? Jawaban “tidak tahu” itu terlalu mahal untuk keluar dari orang murahan yang merasa tahu segalanya seperti kamu.”



“Aku tidak bohong. Tapi terima kasih untuk pujiannya. Shall we continue the conversation?”



“Bahagia itu adalah momen dimana kau tahu untuk apa kau hidup, kemana kehidupan akan berakhir dan secara konsisten kau berbuat untuk senantiasa berada dijalur itu. Kebahagian sejati adalah juga pemahaman bahwa kita tidak memiliki apa apa selain titipan dari yang maha kuasa. Ingat! Titipan! Bukan milikmu yang sesungguhnya. Dan Tuhan akan tetap leluasa mengambilnya kapan pun dengan cara apa pun dan kau tidak boleh protes atau berdemo ketika saat itu tiba.”



“Itulah kenapa melepas lebih berat daripada meraih?”



“Ya. Semua orang berjuang untuk belajar menyikapi kemenangan. Mereka lupa bahwa kita perlu belajar menyikapi “jatuh”. Pendaki sejati hanya membawa seminim mungkin beban yang diperlukan ketika mendaki gunung tertinggi. Mereka meninggalkan kulkas besar berisi makanan makanan yang enak, mereka meninggalkan sofa dan ranjang nyaman, mereka melupakan televisi berikut play station dan hanya hal hal yang penting saja yang perlu dibawa untuk mencapai puncak. Kalau kau ingin mencapai puncak kebahagiaanmu kau juga perlu melakukan hal yang sama. Belajarlah untuk melepaskan.”



“Kenapa sekolah tidak mengajarkanku demikian?”



“Hanya kehidupan yang mengajarkanmu “melepaskan”. Tuhan bicara lewat kematian, lewat pencurian, perampokan, perceraian, pemerkosaan, fitnah dan patah hati. Semata mata itu cara Tuhan mengajarkan kebahagiaan sejati. Mengajarkan kita tentang melepaskan.”



“Tapi semua itu terlalu menyakitkan.”



“Tidak juga. Tidak sakit bila kau tahu bahwa untuk siapa kau hidup. Tapi jelas akan menyakitkan bila kau berprasangka buruk terhadap kehidupan. Kau berprasangka buruk terhadap Tuhan. Dan reaksi nyatanya adalah kau menyalahkan orang lain dan keadaan. Hati hati, ketika hatimu mulai sibuk mencari pembenaran atas sebuah kegagalan, saat itulah kau gagal memahami makna “melepaskan”.”



“Tapi harga untuk pendidikan ini terlalu mahal?”



Pencerahan terdiam dan menghela napas panjang. Dia mendekat di sampingku dan merengkuh bahuku menenangkan emosiku.



“Itu supaya kau tahu siapa yang layak kau hormati dalam hidup. Bukan lagi manusia dengan mobil mercedesnya, tapi anak anak kecil yang tak lengkap lagi tangan dan kakinya karena jadi korban perang dan masih tersenyum lebar dan berprasangka baik terhadap kehidupannya. Bukan lagi pejabat DPR yang kelihatan cari muka dan terkesan pintar, tapi seorang wanita yang hidup dalam derita kanker ganas stadium 4 yang masih berusaha menghibur temannya yang patah hati karena cinta. Bukan lagi artis ngetop dengan semua pesonanya, tapi seorang tukang becak miskin yang bersemangat mencari uang dengan jujur demi sekolah anak anaknya. Lihatlah, selama ini kita seringkali salah menempatkan penghormatan.”



“Sepertinya aku pernah belajar semua ini. Ini tentang Ikhlas dan Syukur kan? Ustadku pernah mengajarkan ini.”



“Apa yang dia bilang?”



“Dia bilang, kita harus mengucap syukur dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Itulah kenapa kita harus berzakat, karena tuhan akan menggantinya dengan rejeki dan pahala yang berlipat.”



“Pahala lagi pahala lagi!! Apa kau tidak muak? Ketika mereka bicara keikhlasan mereka berpamrih kepada Tuhan lewat pahala dan rejeki! Ini kontradiktif!! Sangat kontradiktif!! Bicara ikhlas dan bicara mengharap pada saat yang sama. Kenapa kau tidak menggugat mereka ketika mereka bicara?”



“well, somehow people believe that there’s the only rule we have?”



“ Ikhlas itu memberi tanpa mengharap apa pun. Karena dengan memberi kita melepaskan apa yang bukan jadi milik kita. Terlalu banyak dan terlalu lama sesuatu dititipkan kepada kita hanya membuat kita terlalu terbawa godaan untuk memiliki. Persetan dengan pahala! Ikhlas itu bukan ucapan, bukan teori dan bukan retorika agar orang lain mengagumi kita. Ikhlas itu reaksi kita terhadap kehidupan. Ikhlas itu cara yang benar untuk merespon segala kesulitan yang datang. Ikhlas itu cara terbaik untuk membuat kita bahagia. Sesuatu yang hanya tampak dari tindakan, bukan ucapan pengakuan.”



“Bagaimana dengan syukur? Apa itu artinya aku tidak perlu melakukan apa apa dalam hidup dan menikmati apa yang sudah ada? Apa aku berhak bermalas diri?”



“ Syukur dengan puas itu beda. Berpuas diri itu artinya mengembangbiakkan perasaan malas dan pembenaran pemakluman atas kegagalan karena kebodohan diri. Sesuatu yang menuntun kita menjadi tidak berkembang. Bersyukur itu artinya berterima kasih atas apa yang dititipkan kepada kita. Syukur itu sebuah reaksi, sebuah tindakan terima kasih dengan menjaga, merawat dan mengembangkan apa yang sudah dititipkan.”



“berarti, tidak salah bila aku kaya?”



“Siapa bilang menjadi kaya itu salah? Boleh boleh saja punya uang, kaya, bermobil mewah, terkenal dan beristri cantik. Boleh boleh saja memiliki ambisi. Tapi jangan sampai ambisi menjadi tuhan yang membuat kita kehilangan kehidupan.”



“Maksudmu?”



“Jangan atas nama ambisi meraih semua itu, kita jadi punya alasan untuk tidak beribadah. Kita jadi mewajarkan diri untuk berbohong. Kita jadi punya pembenaran untuk mengambil hak orang lain. Kita menjadi larut dalam pekerjaan dan melupakan kesehatan kita. Kita menjadi punya alasan tepat untuk meninggalkan keluarga kita. Kita ini tuan dari kehidupan kita sendiri. Tuhan kita bukan uang, bukan nama baik, bukan kekuasaan, bukan ruang ruang narsisme dan bukan juga kehidupan hedonis ataupun juga idealis. Semua hal ini hanya mengajarkan kita untuk meraih, bukan melepaskan. ”



“Jadi sekali lagi,sebenarnya aku ini boleh kaya atau tidak? Boleh terkenal atau tidak? Boleh berkuasa atau tidak?”



“ Tergantung. Kalau kau menjadikan semua itu sebagai tujuan dalam hidupmu, lupakan saja. Kecuali kalau kau ingin berakhir seperti orang lain yang salah menerjemahkan kebahagiaan dan terus menerus menjadikan Tuhan sebagai alat yang mewujudkan semua cita cita mereka. Tapi kalau kau menjadikan semua itu sebagai sarana, sebagai media yang membuat hidupmu lebih baik, yang menjadikanmu punya cara lebih luarbiasa untuk memberikan manfaat bagi orang lain, lakukanlah.”



“Jadi yang penting bukan apa yang aku raih, tapi bagaimana aku melepaskan sesuatu yang kumiliki ketika saatnya tiba?”



“Aku khan sudah bilang, kau ini tidak punya apa apa. Kau ini hanya tukang parkir. Tuhan hanya datang untuk memparkir beberapa berkah, yang orang orang menyebutnya sebagai rejeki. Tugasmu hanya menjaganya dengan baik. Bila basah maka keringkan. Bila rusak segera perbaiki. Bila kotor bersihkanlah. Dan bila saatnya diambil oleh yang punya, maka relakanlah. Ketika Tuhan puas dengan semua upayamu merawat titipan titipan berkah itu, maka lahan parkirmu akan diberi titipan berkah yang lebih besar dan hebat. Tapi jangan kau baktikan hidupmu pada subtansi titipannya. Tapi baktikan dedikasimu pada makna kehidupanmu yang sesungguhnya. Yang kau ucap lima kali sehari dalam sholatmu.”



Sesaat kemudian alam sadarku kembali. Dialog dialog itu telah terekam di salah satu sudut hatiku. Pencerahan berjanji akan datang lagi entah kapan. Tapi dia berjanji padaku. Dan seperti saat saat sebelumnya, dia selalu menepati janjinya.



Hari ini aku hanya baru dalam tahap “berpengetahuan”. Dan ketika apa yang sudah pencerahan katakan padaku sepenuhnya mampu kuterapkan, dia bilang itu tahap “berilmu”. Semua tentang melepaskan. Sekolahku tidak mengajarkannya. Tidak juga ayah dan ibuku. Tidak juga acara acara tivi. Tidak juga dakwah di masjid masjid. Kehidupan yang mengajarkan lewat luka dan kehilangan.


jadi IKHLAS lah apapun yg terjadi